bengkelpintar – Dunia otomotif kembali bergolak dengan munculnya perdebatan hangat soal teknologi masa depan: mobil listrik versus mobil hidrogen. Selama beberapa tahun terakhir, kendaraan listrik (EV) menjadi bintang utama dalam kampanye transisi energi ramah lingkungan. Tapi kini, mobil hidrogen mulai merebut perhatian, bahkan dinilai lebih unggul dalam beberapa aspek teknis dan efisiensi.
Kendaraan berbahan bakar hidrogen atau Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) perlahan-lahan keluar dari bayang-bayang dominasi mobil listrik berbaterai. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, pembicaraan tentang teknologi ini mulai bergema di antara pelaku industri, pemerintah, hingga para penggemar otomotif.
Apa yang sebenarnya membuat mobil hidrogen dilihat sebagai alternatif yang menjanjikan? Dan benarkah ia bisa melampaui dominasi mobil listrik? Mari kita telaah lebih dekat.
Pengisian Lebih Cepat, Jangkauan Lebih Jauh
Salah satu keluhan umum pengguna mobil listrik adalah waktu pengisian daya yang cukup lama, terutama jika tidak menggunakan fast charging. Dalam situasi darurat atau perjalanan jauh, hal ini bisa menjadi kendala yang cukup serius.
Di sisi lain, mobil hidrogen menawarkan proses pengisian yang jauh lebih cepat. Hanya butuh waktu sekitar 3-5 menit untuk mengisi penuh tangki hidrogen, tak berbeda dengan saat kita mengisi bensin di SPBU konvensional. Dari sisi pengalaman berkendara, ini jelas menjadi nilai plus.
Tak hanya itu, mobil hidrogen juga unggul dalam hal jangkauan. Beberapa model sudah mampu menempuh jarak hingga 600–700 km dalam satu kali pengisian, melebihi sebagian besar mobil listrik saat ini. Dengan infrastruktur pengisian yang memadai, mobil hidrogen bisa menjadi solusi perjalanan jarak jauh yang lebih efisien dan nyaman.
Emisi Nol Tanpa Baterai Berat
Mobil listrik memang terkenal karena emisinya yang rendah. Tapi jangan lupa, mereka membawa baterai besar yang bobotnya bisa mencapai ratusan kilogram. Selain berdampak pada efisiensi, baterai tersebut juga memiliki isu lingkungan tersendiri, terutama terkait proses penambangan lithium, daur ulang, dan limbah kimia.
Mobil hidrogen bekerja dengan cara yang berbeda. Ia menggunakan sel bahan bakar yang mengubah hidrogen menjadi listrik, dan satu-satunya “limbah” yang dikeluarkan adalah uap air. Tak ada emisi karbon, tak ada suara bising, dan tak ada baterai besar yang harus dibawa kemana-mana.
Teknologi ini tidak hanya bersih, tapi juga ringan. Bobot kendaraan lebih seimbang, memberikan pengalaman berkendara yang lebih stabil. Bahkan dalam kondisi dingin ekstrem, mobil hidrogen cenderung bekerja lebih efisien dibanding mobil listrik yang performanya bisa turun drastis saat suhu rendah.
Ketersediaan Hidrogen Masih Jadi Tantangan
Meski memiliki banyak keunggulan, mobil hidrogen tidak lepas dari tantangan besar, terutama dari sisi infrastruktur. Di Indonesia, SPBU hidrogen nyaris belum ada. Bahkan di negara-negara maju seperti Jepang dan Jerman pun, penyebaran stasiun pengisian hidrogen masih sangat terbatas.
Produksi hidrogen murni juga membutuhkan teknologi dan biaya besar. Saat ini, sebagian besar hidrogen dihasilkan dari gas alam, yang justru menghasilkan emisi karbon. Namun, upaya mengembangkan “green hydrogen” dari energi terbarukan terus digalakkan, dan menjadi kunci keberhasilan teknologi ini di masa depan.
Para ahli meyakini, jika harga produksi hidrogen turun dan infrastrukturnya merata, mobil hidrogen bisa menjadi lawan seimbang atau bahkan lebih unggul dibanding mobil listrik. Ini bukan soal siapa menang atau kalah, tapi bagaimana keduanya bisa saling melengkapi kebutuhan mobilitas yang berbeda.
Potensi untuk Transportasi Berat dan Jarak Jauh
Salah satu sektor yang paling berpotensi mengadopsi mobil hidrogen adalah transportasi berat: truk, bus, bahkan kapal laut dan pesawat. Alasannya sederhana kendaraan ini membutuhkan jangkauan jauh dan waktu pengisian yang cepat, dua hal yang masih jadi kendala besar bagi kendaraan listrik berbaterai.
Beberapa produsen besar seperti Toyota, Hyundai, hingga perusahaan truk seperti Nikola dan Daimler, sudah mulai mengembangkan kendaraan niaga berbasis hidrogen. Bahkan pemerintah Korea Selatan dan Jepang telah menyusun roadmap khusus untuk memperluas ekosistem kendaraan hidrogen secara nasional.
Indonesia sendiri memiliki peluang besar di sektor ini, terutama untuk transportasi antarkota, logistik, dan kendaraan dinas. Apalagi jika produksi hidrogen bisa dikembangkan dari potensi energi terbarukan dalam negeri seperti tenaga surya, air, atau biomassa.
Dengan kombinasi insentif pemerintah, riset industri, dan kesadaran publik, bukan tidak mungkin kita akan melihat truk-truk berbahan bakar hidrogen melaju di jalan tol dalam 5-10 tahun ke depan.
Bukan Pengganti, Tapi Pelengkap
Dalam perdebatan antara mobil listrik dan mobil hidrogen, penting untuk tidak melihat keduanya sebagai pesaing mutlak. Justru, kedua teknologi ini bisa saling melengkapi dan memenuhi kebutuhan yang berbeda.
Mobil listrik sangat cocok untuk pemakaian harian, terutama di wilayah urban. Mereka efisien, mudah dirawat, dan infrastruktur pengisian dayanya makin berkembang. Sementara mobil hidrogen punya keunggulan di sektor perjalanan jauh, kendaraan berat, dan operasional non-stop.
Artinya, masa depan kendaraan ramah lingkungan tidak akan ditentukan oleh satu teknologi tunggal, tapi oleh ekosistem beragam yang bekerja saling mendukung. Dalam konteks ini, konsumen pun akan punya lebih banyak pilihan sesuai kebutuhan mereka.
Diskusi tentang keunggulan mobil hidrogen sudah mulai memasuki ruang-ruang komunitas otomotif, bahkan menjadi topik hangat di kanal zonamusiktop, tempat pecinta otomotif, teknologi, dan gaya hidup digital bertemu dan berbagi perspektif.
Mobil hidrogen memang belum sepopuler mobil listrik, namun potensinya tak bisa diremehkan. Dengan keunggulan teknis seperti waktu pengisian cepat, jangkauan lebih jauh, dan emisi nol tanpa baterai besar, kendaraan ini mulai dilirik sebagai pilar penting dalam masa depan transportasi berkelanjutan.
Tentu, jalan menuju adopsi massal masih panjang. Infrastruktur harus dibangun, biaya produksi ditekan, dan edukasi publik diperkuat. Tapi yang pasti, mobil hidrogen membuka lembaran baru dalam sejarah otomotif global dan Indonesia punya kesempatan besar untuk jadi bagian dari perjalanan itu.
Saat ini adalah momen penting untuk berpikir tidak hanya soal tren, tapi juga tentang arah yang benar untuk bumi dan generasi mendatang. Mobil hidrogen bukan mimpi. Ia sedang mengetuk pintu masa depan, dan mungkin sudah saatnya kita menyambutnya dengan lebih terbuka